Rabu, 11 Mei 2011

tujuan-penciptaan-manusia-dalam-al-quran

TUJUAN PENCIPTAAN MANUSIA DALAM AL QUR’AN Oleh : Taufikurrahman
A. Pendahuluan
Manusia menurut Nurcholish Madjid memang merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang mengagumkan dan penuh misteri. Dia tersusun dari perpaduan dua unsur ; segenggam tanah bumi, dan ruh Allah, maka siapa yang hanya mengenal aspek tanahnya dan melalaikan aspek tiupan ruh Allah, maka dia tidak akan mengenal lebih jauh hakikat manusia.1 Al-Qur‟an sendiri juga menyatakan bahwa manusia memang merupakan makhluk paling sempurna yang diciptakan oleh Allah.2 Ada banyak sekali kelebihan yang diberikan oleh Allah swt kepada manusia yang tidak diberikan kepada makhluk-makhlukNya yang lain.3 Ada beberapa „perangkat‟ yang diberikan Allah swt. kepada manusia yang menjadikannya unggul dan terdepan dari para makhluk lainnya seperti; memiliki daya tubuh yang membuat fisiknya kuat; daya hidup yang membuatnya mampu mengembangkan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan serta mempertahankan diri menghadapi tantangan; daya akal yang membuatnya memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi; daya kalbu yang memungkinkannya bermoral, merasakan keindahan, kelezatan iman, dan kehadiran Allah.4
Oleh karena itu, manusia perlu menyadari eksistensi dan tujuan penciptaan dirinya, memahami risalah hidupnya selaku pengemban amanah Allah, melalui arahan dan bimbingan yang berkesinambungan agar kehidupannya menjadi lebih berarti. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya segala sesuatu diciptakan dengan adanya satu tujuan. Dengan tujuan itulah kemudian sesuatu difungsikan dan
1 Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta : Paramadina, 2000), 430. 2 QS. Al-Tin (95): 4; Ungkapan yang digunakan oleh al Qur‟an untuk menunjukkan konsep manusia dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu : a) al Insan, Al-Ins, Unas, Anasi, dan Ins yang kesemuanya berakar dari huruf hamzah, nun dan sin. b) al-bashar dan c) Banu Adam. Mengenai perbedaan makna masing-masing kata tersebut silahkan lihat Abdul Muin Salim, Fiqih Si>yasah : Konsep Kekuasaan Politik dalam Al Qur’an, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), 79-90. Lihat Juga Aisyah Abdurrahman Bintusy Syathi‟, Manusia Sensitivitas Hermeneutika al Qur’an ter. M. Adi al Arief (Jakarta: LKPSM, 1997), 7-22. 3 QS. Al Isra‟ (17) : 70 4 M. Quraish Shihab, Lentera Hati, (Bandung : Mizan, 1997), 132.
dengan adanya fungsi itulah maka keberadaan sesuatu menjadi berarti. Demikian juga adanya manusia di bumi ini. Ia pasti diciptakan untuk satu tujuan tertentu. Makalah ini mencoba untuk membahas tujuan penciptaan manusia sebagaimana yang ada di dalam al Qur‟an. Dalam pembahasan ini penulis menfokuskan pada dua ayat yang secara eksplisit menunjukkan tujuan Allah swt dalam penciptaan manusia yaitu QS al Dhariyat : 56 dan QS al-Baqarah : 30. Pembahasan dalam makalah ini lebih bercorak pada penafsiran tematis ilmiah karena penulis juga mencoba menghubungkan bahasan dalam makalah ini dengan penemuan ilmiah terkini.
B. Manusia sebagai Hamba Allah (Abd Allah)
Ayat pertama yang menjelaskan tentang tujuan penciptaan manusia adalah firman Allah swt :       
Dan Aku tidak menciptakan5 jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.( al-Dhariyat: 56)6
Ayat ini mengindikasikan tentang tujuan penciptaan manusia sebagai hamba Allah. Indikasi ini dapat dipahami dari klausa kata “ليعبدون ” yang berarti “agar mereka mengabdi kepadaKu”. Klausa tersebut berasal dari kata “يعبدونن ” yang mengandung subyek, kata kerja dan obyek. Kontraksi terjadi karena kata kerja tersebut didahului oleh partikel ل yang berfungsi sebagai penghubung dan bermakna “tujuan dan kegunaan”7 Dalam ayat ini juga digunakan kata ما dan إلا
yang merupakan salah satu bentuk hasr (pembatasan). Hal ini memberikan
5 Maurice Bucaile menyatakan bahwa arti asli kata Khalaqa adalah “memberikan suatu proporsi kepada sesuatu atau membuatnya memiliki proporsi atau jumlah tertentu. Karena itu menurutnya penerjemahan yang lebih tepat dari kata khalaqa adalah “membentuk” atau “membentuk dalam proporsi tertentu” . Lihat Maurice Bucaile, Asal-usul Manusia Menurut Bible, al Qur’an dan Sains ter. Rahmani Astuti (Bandung:Mizan, 1998), 202-203 6 Penulis belum mendapatkan sebab turunnya ayat ini. 7 Ada perbedaan tentang makna partikel “lam” . Ulama Basrah menyatakan bahwa makna partikel “lam sebagai ta’li>l (yang menjadi sebab atau lantaran) sedangkan ulama Kufah menyatakan bahwa maknanya adalah s}ayru>rah (menjadi). Lihat Badr al Din al Zarkashi, al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n Vol. IV, (Mesir: Da>r Ihya>‟ al-Kutub al-„Arabi>yah, tt.), 346.
pengertian bahwa tujuan penciptaan manusia hanyalah untuk mengabdi kepada Allah swt dan bukan untuk yang lainnya. Karena itulah dapat kita lihat bahwa dakwah Rasulullah SAW di era Mekkah adalah mengajak masyarakat kepada tujuan utama penciptaan mereka yaitu mengabdi kepada Allah dengan sebenarnya.
Namun hal ini bukan berarti bahwa Allah swt butuh untuk disembah. Sebab menurut Taba‟taba‟i hal itu mustahil bagi Allah swt. Namun suatu perbuatan yang tidak memiliki suatu tujuan adalah perbuatan sia-sia yang harus dihindari. Dengan demikian harus dipahami bahwa ada tujuan bagi Allah swt dalam perbuatannya, tapi dalam dirinya bukan di luar dirinya. Ibadah adalah tujuan penciptaan manusia dan kesempurnaan yang kembali kepada penciptaan. Allah swt menciptakan manusia unutk memberinya ganjaran. Yang memperoleh ganjaran adalah manusia sedang Allah tidak membutuhkannya. Adapun tujuan Allah, maka itu berkaitan dengan Zatnya yang Maha Tinggi. Dia menciptakan jin dan manusia karena Dia adalah Zat yang Maha Agung. 8
Istilah „hamba‟ dalam bahasa Arab adalah ‘abd yang berasal dari kata kerja ‘abada yang berakar kata dengan huruf-huruf ‘ain, ba’, dan dal. Struktur ini bermakna pokok „kelemahan dan kehinaan‟ dan „kekerasan dan kekasaran‟.9 Dari makna pertama diperoleh kata ‘abd yang bermakna mamlu>k (yang dimiliki) dan mempunyai bentuk jamak ‘abi>d dan ‘iba>d. Bentuk pertama menunjukkan makna „budak-budak‟ dan yang kedua untuk makna „hamba-hamba Tuhan‟. Dari makna terakhir inilah bersumber kata ‘abada-ya’budu-‘iba>datan yang secara leksikal bermakna „tunduk merendahkan dan menghinakan diri kepada dan di hadapan Allah‟.10
Dari kata ‘abada tersebut, Ibn Manz}u>r menyebut ungkapan ‘ubu>di>yah (penghambaan diri) adalah al-khud}u>’ (ketaatan) dan al-tadhallul (kerendahan
8 Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Vol. 13 (Jakarta: Lentera hati, 2002), 357. 9Untuk makna kedua (kekerasan dan kekasaran), Ibn Faris menukilkan bahwa kata al-‘a>bid>in dalam Q. S. al-Zukhruf/43/63:81, berarti „orang-orang yang marah‟, karena kata itu berasal dari kata ‘abida-ya’badu-‘abadan, lihat Abu> al-H}usayn Ah}mad ibn Fa>ris, Mu’jam Maqa>yis al-Lughah, (Beirut : Da>r al-Fikr, t. t), Juz IV, 205.
10Lihat Ah}mad ibn Muh}ammad ibn „Ali> al-Muqri> al-Fayu>mi>, al-Misba>h al-Muni>r fi> Ghari>b al-Syarh> al-Kab>ir li al-Ra>fi’i>, (Beirut : Da>r al-Jil, 1987), Juz II, 36.
hati).11 Sementara al-Ra>ghib, walaupun membedakan antara ‘ubu>di>yah dengan ‘iba>dah, namun perbedaan tersebut hanya pada tingkatnya, bukan dasar pengertiannya. Menurutnya, ‘ubudiyah adalah penampakan kerendahan, sedangkan ‘ibadah lebih dalam artinya dari ‘ubu>di>yah ini, sebab ‘iba>dah adalah puncak kerendahan, tidak wajar kecuali hanya kepada siapa yang memiliki puncak anugerah (kepada seseorang), yaitu Allah swt.12 Meskipun secara etimologi tidak begitu diperselisihkan tentang kata ‘abd dengan ‘iba>dah dalam bahasa agama, yaitu bahwa keduanya mengandung arti kerendahan yang mengakibatkan ketundukan dan ketaatan, namun mengartikannya semata-mata dengan „tunduk, taat, dan kerendahan diri‟, belum menggambarkan arti yang sebenarnya dari kata-kata tersebut.
Secara istilah, ternyata para ulama tidak memiliki formulasi yang disepakati tentang pengertian ibadah.13 Al-Wahidi mengungkapkan istilah ‘ibadah dengan „ketaatan dan kerendahan hati‟. Dari sini, al-Wahidi mengisyaratkan bahwa ibadah adalah perbuatan manusia yang menunjukkan ketaatan kepada aturan atau perintah dan pengakuan kerendahan dirinya di hadapan yang memberi perintah.14 Ibn Kathi>r misalnya, menunjukkan sifat ibadah itu dengan menganggapnya sebagai perbuatan yang menghimpun rasa kecintaan dan penyerahan diri yang sempurna dari seorang hamba kepada Tuhan dan rasa khawatir yang mendalam terhadap penolakan Tuhan terhadap hamba itu.15
Sementara Rasyid Rida menekankan latar belakang dari ibadah itu dengan menyatakan bahwa ibadah itu bertolak dari kesadaran jiwa terhadap keagungan yang tidak diketahui sumbernya dan kekuatan yang hakikat dan wujudnya tidak terjangkau oleh manusia yang dimiliki oleh Zat yang disembah.16 Demikian pula dengan Mah}mu>d Shalt}u>t}, mengemukakan pengertian yang sama, bahwa kesadaran akan adanya kekuasaan yang tidak terbatas itu merupakan roh ibadah, sebab
11Lihat Abu> al-Fadl Jamal al-Din Muh}ammad ibn Mukarram ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, (Mesir : Nur al-Thaqafah al-Islami>yah, t. t). Juz. IV, 2774. 12Al-Raghib al-Asfahani, Mufradat Alfaz al-Qur’an, (Beirut : Da>r al-Shami>yah, 1992), 319.
13 Salim, Fiqih Si>yasah, 146. 14Abu> al-Hasan „Ali ibn Ahmad al-Wahidi, Asbab al-Nuzul, (Beirut : Da>r al-Fikr, 1994), 3.
15Lihat Abu> al-Fida‟ Isma‟il ibn Kathi>r, Tafsi>r Ibn Kathi>r, Juz I, (Beirut : Da>r al-Fikr, 1986), 25. 16 Muh}ammad Rashid Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r Juz I (Mesir : Maktabah al-Qa>hirah, 1960), 57.
itulah, tanpa kesadaran tersebut, ibadah tidak akan terwujud.17 Adapun al-Qa>simi>, memberikan pengertian yang sederhana. Menurutnya, ibadah merupakan perbuatan memenuhi apa yang diperintahkan oleh Tuhan melalui utusan-Nya.18 Beberapa definisi tadi sebenarnya menunjukkan aspek kualitas dari ibadah itu sendiri sebagai pengembangan konsep al-Wahi>di> sebelumnya.
Apa yang terkandung dalam ayat tadi (Q. S. al-Dhariyat/51/67:56), juga masih diperselisihkan mufassir. Ibn „Abba>s, yang dikutip oleh al-T}abari>, menyatakan bahwa manusia diciptakan agar mengakui ketuhanan Allah swt., baik secara sukarela maupun terpaksa.19 Berbeda dengan „Ali> ibn Abu> T}a>lib, yang dikutip oleh al-Mara>ghi>, yang menyatakan bahwa manusia diciptakan agar diperintahkan untuk beribadah.20
Kedua pendapat ini meskipun berbeda, namun memiliki persamaan. Keduanya memandang bahwa konsep yang terkandung di dalamnya bersifat umum. Hanya saja, pendapat Ibn „Abba>s menekankan aspek takwi>n (penciptaan) manusia sebagai hamba, sedangkan pendapat „Ali> lebih menekankan aspek takli>f (pembebanan tanggung jawab).21 Oleh karena itu, keduanya tidaklah bertentangan. Manusia diciptakan dengan kodrat sebagai hamba atau makhluk yang tunduk kepada kehendak Allah sekaligus dibebani tanggung jawab sebagai manifestasi ketundukannya.
Kalau begitu, kenapa dalam kenyataan banyak manusia yang tidak beribadah kepada-Nya. Kita dapat memadukan dengan pendapat Tabataba‟i. Sebagaimana yang dikutip Quraish Shihab, ia menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “menciptakan mereka untuk beribadah” adalah menciptakan mereka dengan memiliki potensi untuk beribadah yaitu menganugerahkan mereka kebebasan memilih, akal dan kemampuan.22 Artinya manusia diciptakan dengan mempunyai potensi untuk beribadah kepada Allah dan oleh karena itu ia diberi
17Lihat Mahmud Shaltut, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m, (Beirut : Da>r al-Qalam, 1965), 29.
18Muh}ammad Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Mah}a>sin al-Ta’wi>l, Juz XV (Mesir : Da>r Ihya>‟ al-Kutub al-„Arabi>yah, t. t), 5538.
19Lihat Abu>> Ja‟far ibn Muh}ammad ibn Jari>r al-T}abari}, Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l A>yi al-Qur’a>n, Juz V (Beirut : Da>r al-Fikr, t. t), 12. 20Lihat Ah}mad Mus}t}afa al-Mara>ghi>, Tafsi>r al-Mara>ghi>, Juz VIII, (Beirut : Da>r al-Fikr, t. t), 13.
21Abdul Muin Salim, Fiqih Si>yasah, 152.
22 Shihab, Tafsir al-Misbah Vol. 13,358.
tanggung jawab untuk beribadah. Namun manusia tetap diberi kebebasan memilih. Semuanya menurut Al Shinqit}i>, dalam kerangka ujian bagi manusia untuk mengetahui siapa yang terbaik amalnya.23
Pada sisi lain, ungkapan yang dipergunakan adalah klausa verbal yang berkonotasi aktivitas. Ini berarti ayat tersebut berkenaan dengan perbuatan manusia, bukan dengan sifat kodratinya.24 Hal ini sejalan pula dengan ayat-ayat yang memang memerintahkan manusia agar beribadat kepada Allah swt.25
Manusia, sebagai ‘abd Alla>h, disetarakan dengan konteks makna kata tersebut yang di antaranya adalah „ibadah‟ sebagai pernyataan kerendahan diri. Ibadah kepada Allah merupakan sikap dan pernyataan kerendahan hati yang tertinggi dan sempurna dari seorang hamba. Dalam pandangan Ja‟far al-Sadiq, yang dikutip oleh Jalaluddin, dinyatakan bahwa pengabdian kepada-Nya baru dapat terwujud jika memenuhi tiga kriteria; pertama, menyadari sepenuhnya bahwa apa yang dimilikinya, termasuk dirinya sendiri, adalah milik Allah dan berada di bawah kekuasaan-Nya; kedua, menjadikan segala bentuk sikap dan aktivitasnya senantiasa mengarah kepada usaha untuk memenuhi perintah Allah dan menjauhi segala bentuk perbuatan yang dilarang-Nya; ketiga, mengambil keputusan senantiasa mengaitkannya dengan rida Allah, tempat dia menghambakan diri.26
Dari pendapat al-S}a>diq di atas, ada dua konsep dasar yang terangkum dalam ‘abd Allah tersebut, yaitu kepemilikan dan pengabdian. Berangkat dari dua konsep ini, maka manusia sebagai hamba Allah harus menyadari bahwa kepemilikan mutlak atas dirinya berada pada Allah. Atas dasar status kepemilikan mutlak tersebut, maka sebagai hamba Allah, manusia ditetapkan untuk mengemban tanggung jawab pengabdian Pemiliknya yang memang merupakan hak Allah atas hamba-Nya.
23 Al-Shinqit}i>, Ad}wa>’ al Baya>n fi> I>d}a>h al-Qur’a>n bi al-Qur’a>n Juz. VII (Beirut: Da>r al Fikr, 1995), 445. 24 Lihat Ahmad al-Hashi>mi>, Jawa>hir al-Bala>ghah fi> al-Ma’a>ni> wa al-Baya>n wa al-Badi>’, (Mesir : Maktabah al-Tija>ri>yah al-Kubra>, 1960), 71.
25 Ayat-ayat yang memerintahkan manusia agar beribadah kepada Allah dengan menggunakan klausa imperatif 37 buah. Rincian selanjutnya, lihat Muh}ammad Fu‟a>d „Abd al-B>aqi>, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z} al-Qur’a>n, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1986), 442.
26Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001), h. 29.
Dalam hal ini, pengabdian yang dilaksanakan oleh manusia selaku hamba Allah, ternyata tidak terbatas pada pernyataan verbal (ucapan-ucapan) ataupun lakon ritual (perilaku) saja. Lebih dari itu, masih ada aspek batin yang menjadi landasan dari segalanya, yaitu „keikhlasan‟ yang tumbuh dari hati nurani atas dasar kesadaran diri, tidak ada paksaan, tetapi karena kebutuhan. Oleh karena itu, keikhlasan yang sebenarnya baru akan tercapai, jika dalam diri sudah tumbuh kesadaran bahwa pengabdian kepada Allah sudah didorong oleh kebutuhan untuk itu.27 Kemudian bagaimana sebenarnya kriteria seorang hamba Allah yang sebenarnya? Kriteria ini dapat kita lihat salah satunya pada surat al Furqan 63-76.
          
           
             
             
             
              
            
              
            
            
           
27Ibid., h. 54.
            
  
63. Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.
64. Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka
65. Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, jauhkan azab Jahannam dari kami, Sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal".
66. Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.
67. Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.
68. Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya),
69. (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina,
70. Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
71. Dan orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, Maka Sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan Taubat yang sebenar-benarnya.
72. Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.
73. Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat- ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang- orang yang tuli dan buta.
74. Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (Kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.
75. Mereka Itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang Tinggi (dalam syurga) Karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan Ucapan selamat di dalamnya,
76. Mereka kekal di dalamnya. syurga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman.
Di dalam ayat-ayat ini Allah swt menjelaskan kriteria hamba-hamba Nya yang Ia sebut dengan ‘Ibad al-Rahman (Hamba Allah yang Maha Pengasih). Ciri-ciri mereka antara lain:
- Rendah hati
- Suka beribadah kepada Allah
- Berusaha menjauhkan diri dari murka Allah
- Tidak kikir tapi juga tidak boros
- Tidak menyekutukan Allah dengan selainNya
- Tidak suka berbuat dosa, terutama dosa besar seperti membunuh dan berzina
- Suka bertaubat dan mengerjakan amal salih
- Menjaga kehormatan diri dan menghindari perbuatan yang tidak bermanfaat
- Dapat mengambil manfaat dari ayat-ayat Allah
- Mempunyai keperdulian kepada orang lain terutama anak dan istrinya.
Dari ciri-ciri yang digambarkan di atas dapat diketahui bahwa sifat seorang hamba Allah ternyata bukan hanya rajin sujud dan ruku‟ kepada-Nya (al-akhla>q ma’a Alla>h) akan tetapi juga punya keperdulian terhadap pengembangan potensi dirinya (al-akhla>q ma’a al-nafs) dan juga keperdulian sosial terhadap sesama manusia (al-akhla>q ma’a al-ghayr).
Dari surat al Dahriyat ayat 56 di atas, penulis juga melihat adanya satu konsep lain yang berkaitan dengan tujuan penciptaan manusia yaitu konsep tentang design penciptaan manusia. Secara tersirat, dari ayat di atas dapat dipahami bahwa manusia didesign atau dirancang sebagai makhluk yang mengabdi atau beribadah kepada Allah. Karena manusia dirancang untuk beribadah kepada Allah maka tentu saja eksistensi atau keberadaan manusia akan tergantung kepada seberapa jauh dia dapat menyesuaikan diri dengan rancangan awal penciptaannya ini.
Sebagai perbandingan, kita dapat melihat pada barang-barang ciptaan manusia. Setiap benda hasil karya manusia biasanya dirancang dengan satu design tertentu. Design atau rancangan ini biasanya mencakup tentang tujuan dan aturan yang harus dijalankan terhadap benda tersebut. Sesuatu akan bisa bejalan dengan baik bahkan mungkin akan bertahan dalam jangka waktu lebih lama jika ia
difungsikan sesuai dengan rancangan dan aturan yang telah ditetapkan pembuatnya. Sebaliknya ia tidak akan bertahan lama jika ia difungsikan tidak sesuai dengan rancangan atau design yang telah dirumuskan oleh pembuatnya. Misalkan saja sepeda motor biasa akan terasa enak dan optimal jika dipakai di jalan yang rata dan beraspal sesuai dengan kecepatan optimal yang dimilikinya, namun ia akan cepat hancur jika digunakan di luar garis rancangannya, misalnya digunakan di jalan yang berbatu, di perbukitan apalagi dengan kecepatan yang lebih dari rancangannya. Sebaliknya sepeda motor gunung akan tetap baik dan optimal walaupun digunakan di jalan yang berbatu, di perbukitan, karena memang itulah rancangan penciptaan baginya. Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah juga bisa diibaratkan seperti benda buatan manusia dalam perbandingan di atas. Ia akan bisa optimal dan bertahan lama jika bisa mengikuti design penciptaan dirinya dan sebaliknya ia akan cepat hancur dan tidak bisa bertahan lama jika ia tidak bisa menyesuaikan diri dengan rancangan penciptaan dirinya. Jika kita mengacu pada teori fungsional yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya, maka dapat dinyatakan bahwa manusia yang bisa menjalankan fungsinya dengan baik akan bisa mencapai optimalisasi kemampuan dirinya. Sebaliknya manusia yang tidak bisa menjalankan fungsinya peribadatan dengan baik maka ia tidak akan bisa mencapai optimalisasi kemampuan dirinya yang pada klimaksnya akan berujung pada kerusakan pada dirinya.
Ilmu pengetahuan pada masa sekarang, dalam pengamatan penulis semakin menunjukkan kebenaran asumsi ini. Ibadah sebagai design awal penciptaan manusia ternyata dapat mengoptimalkan segenap kemampuan manusia jika dilakukan dengan baik dan benar. Dalam hal penulis mengambil contoh dari ibadah-ibadah mahdah seperti sholat, zakat, puasa dan ibadah haji. Setiap gerakan sholat, misalnya, dalam penelitian ternyata mempunyai manfaat terhadap kesehatan fisik manusia, yang artinya orang yang melaksanakan ibadah sholat dengan baik dan benar akan dapat mengoptimalkan kesehatan fisik dan tentunya
juga kesehatan psikisnya.28 Demikian juga dengan puasa, ia memberikan efek kesehatan yang begitu besar kepada pelakunya. Agus Mustofa menyatakan bahwa puasa dapat diibaratkan dengan servis rutin pada peralatan mesin. Adanya servis rutin yang mungkin dilakukan setiap bulan pada dasarnya bukan merupakan beban, melainkan suatu kebutuhan dalam rangka menjaga agar mesin tetap optimal dan bisa bertahan lama.29 Demikian juga halnya dengan zakat dan ibadah haji.30 Hal ini menunjukkan hakekat sebenarnya dari ibadah yang merupakan kebutuhan manusia, karena memang manusia diciptakan untuk tujuan tersebut.
Namun hal ini bukan berarti bahwa manusia boleh mengabaikan hal-hal lain di luar ibadah mahdah yang berkaitan dengan optimalisasi dirinya seperti, makan, minum, gerak dan lain-lain. Manusia tetap harus mengikuti fitrah yang ada pada dirinya sesuai dengan sunnah yang telah ditetapkan oleh Allah, sebagaimana yang menjadi salah satu sifat dari „ibad al-Rahman di atas. Al-Sha>t}ibi> sendiri sudah menjelaskan bahwa tujuan penetapan shari‟at pada dasarnya adalah untuk memenuhi kepentingan manusia yang meliputi kebutuhan primer (d}aru>ri>yat), kebutuhan sekunder (h}a>jiyat) dan kebutuhan tersier (tah}si>ni>yat).31
C. Manusia Sebagai Wakil Allah (Khalifah Allah)
Ayat lain yang menjelaskan tujuan penciptaan manusia yaitu firman Allah:
32
28 Hasil penelitian M. Sholeh menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara pelaksanaan sholat tahajjud yang benar dengan kesehatan manusia. Lihat Moh. Sholeh, Tahajud; Manfaat Praktis Ditinjau dari Ilmu Kedokteran ( Yogyakarta: FS Himanda & Pustaka Pelajar, 2001). Baca juga pengalaman seorang penderita Thalasemia (Ketidakmampuan sumsum tulang belakang memproduksi sel darah merah), yang bisa sembuh lewat terapi doa dan tahajjud. Lihat “Terapi Do‟a dan Tahajjud” Majalah Suara Hidayatullah Edisi 12/XX/April 2008, 30. 29 Lihat Agus Mustofa, Untuk Apa Berpuasa (Surabaya: Padma Press, 2005). 30 Penulis mempunyai pengalaman pribadi dari dua orang teman yang mengalami kesembuhan melalui prosesi pelaksanaan ibadah haji dari penyakit yang sebelumnya divonis dokter tidak akan mengalami kesembuhan kecuali dengan operasi. 31 Al-Sha>t}ibi> sendiri sudah menjelaskan bahwa tujuan penetapan shari‟at pada dasarnya adalah untuk memenuhi kepentingan manusia yang meliputi kebutuhan primer (d}aru>ri>yat), kebutuhan sekunder (h}a>jiyat) dan kebutuhan tersier (tah}si>ni>yat). Selengkapnya baca al-Sha>t}ibi>, al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Shari>’ah (Beirut: Da>r al-Kutub al-„Ilmi>yah, tt.) 32 QS 2 : 30. Penulis juga belum menemukan penjelasan tentang sebab turunnya ayat ini.
Di dalam ayat ini tergambar tujuan penciptaan manusia untuk menjadikannya sebagai seorang khalifah di muka bumi. Indikasi ini dapat dilihat dari kata ja’il. Para Mufassir banyak yang menfasirkan kata ja’ala dalam ayat di atas dengan khalaqa, 33. Salah satu faktornya adalah adanya kesamaan tema dengan al Qur‟an surat al Hijr: 28, 












Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.
Kedua ayat ini membicarakan tema yang sama yaitu tentang firman Allah swt kepada para malaikat mengenai adanya makhluk baru yang akan diciptakan oleh Allah, sehingga keduanya saling menjelaskan makna. Walaupun demikian, sesungguhnya terdapat perbedaan makna di antara kedua kata di atas. Kata Khalaqa yang bermakna menciptakan mengandung makna dasar “pemberian bentuk fisik dan psikis” sedangkan kata ja’ala mempunyai makna di antaranya adalah “menetapkan suatu kedudukan bagi sesuatu yang lain” yang artinya manusia ditetapkan oleh Allah sebagai khalifah sebagai satu aspek fungsional manusia.34
Kata khali>fah dalam bentuk tunggal terulang di dalam al Qur‟an sebanyak dua kali yaitu dalam surat al Baqarah : 30 dan Sad : 26. Sedangkan bentuk jamak dari khalifah ada dua yaitu khalaif 35 dan khulafa’36. Keseluruhan kata tersebut
33 Lhat al-Shawka>ni>, Fath} a-Qadi>r, Maktabah Sha>milah Ver. 2, 67. Lihat juga al-T}abari>, Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l Ayi al Qur’a>n, Maktabah Sha>milah Ver. 2, 448. 34 Salim, Fiqih Siyasah, 87-88. 35 Kata khala>if tercatat sebanyak empat kali dalam al-Qur‟an yaitu pada surat al An‟a>m : 165, Yu>nus : 14, 73 dan Fa>t}ir : 39. Kata ini menurut Abd Muin Salim digunakan dengan merujuk pada ummat manusia pada umumnya dan orang-orang beriman secara khusus. Liha Salim, Fiqih Siyasah, 108. 36 Kata khulafa>’ merupakan bentuk jamak dari Khali>f , namun kata khali>f tidak digunakan dalam al-Qur‟an. Kata khulafa>’ tercatat dalam al Qur‟an sebanyak tiga kali yaitu pada surat al A‟raf : 69, 74 dan al-Naml : 62. Kata ini menurut Salim digunakan dalam konteks pembicaraan dengan orang-orang kafir. Lihat Ibid.
berakar dari kata khalafa yang pada mulanya berarti “di belakang” 37 Dari sini kemudian kata “khalifah” sering diartikan sebagai “pengganti”, karena yang menggantikan selalu berada atau datang di belakang, sesudah yang digantikan. Al Ra>ghib al-Asfaha>ni> menyatakan bahwa menggantikan yang lain berarti melaksanakan sesuatu atas nama yang digantikan baik bersama yang digantikan maupun bersama-sama. Lebih jauh al Asfahani juga menyatakan bahwa kekhalifahan itu dapat terlaksana karena beberapa hal yaitu akibat ketiadaan di tempat, kematian, atau ketidakmampuan orang yang digantikan dan dapat juga akibat penghormatan yang diberikan kepada yang menggantikan. Dalam hubungannya dengan manusia, kekhalifahan lebih tepat dikarenakan keutamaan yang diberikan oleh Allah kepada manusia dibandingkan dengan makhluk-makhlukNya yang lain.38
Aspek fungsional dari manusia sebagai khalifah ini kemudian menuntut suatu tanggung jawab.39 Tanggung jawab ini dapat kita lihat misalnya dalam firman Allah: dalam al Qur‟an surat Sad : 26             
               
 
Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, Karena mereka melupakan hari perhitungan.
37 M. Quraish Shihab, Membumikan al Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung : Mizan, 1998), 157. Bentuk kata yang lain yang digunakan dalam al Qur‟an adalah Istakhlafa-yastakhlifu yang bermakna ”menjadikan Khalifah”. Lihat Salim, Fiqih Si>yasah, 109-110. 38 Al-Ra>ghib al-Asfaha>ni>, al-Mufrada>t fi> Ghari>b al-Qur’a>n, CD Maktabah Sha>milah Ver. 2, 156. 39 Karena itulah „Abba>s Mah}mu>d al -„Aqqa>d menyebut manusia dengan al-makhlu>q al-mas’u>l (makhluk yang bertanggung jawab). Lihat „Abba>s Mah}mu>d al-„Aqqa>d, a- Insa>n fi> al-Qur’a>n (Beirut: Manshu>ra>t al-Maktabah al-„As}ri>yah, tt.), 14.
Ayat di atas menjelaskan tentang tanggung jawab seorang khalifah untuk menegakkan hukum Allah di muka bumi dengan baik dan benar serta larangan untuk memperturutkan hawa nafsu yang akan menyebabkan penyimpangan dari jalan Allah. Hal ini memang merupakan konsekuensi dari makna khalifah yang memang seharusnya mencerminkan sifat-sifat yang diwakilinya.40
Muhammad Baqir al-Sadr dalam bukunya al-Sunan al-Ta>ri>khi>yah fi> al-Qur’an, sebagaimana yang dikutip oleh Quraish Shihab, mengemukakan bahwa kekhalifahan mempunyai tiga unsur yang saling berkaitan yaitu manusia sebagai khalifah, alam raya dan hubungan antara manusia dengan alam dan segala isinya.41 Artinya tanggung jawab manusia sebagai khalifah adalah upaya menegakkan hukum Allah di muka bumi ini dan upaya memberdayakan segenap potensi yang ada di alam ini yang mencakup manusia itu sendiri, hewan, tumbuh-tumbuhan42 dan seluruh benda lainnya yang merupakan ciptaan Allah.43
Karena tanggung jawab yang berat inilah, eksistensi manusia sebagai khalifah Allah sempat diragukan oleh malaikat. Malaikat malah mempunyai tesis yang berbeda tentang eksistensi manusia. Mereka beranggapan bahwa manusia tidaklah pantas untuk menyandang gelar khalifah karena manusia dalam pandangan malaikat adalah makhluk yang kerjanya hanya membunuh dan berbuat kerusakan di muka bumi.44 Tesis malaikat ini dapat kita lihat dalam bagian tengah surat al Baqarah ayat 30 yaitu
40 Kabir Helminski, penerus tradisi Maulawi Jalaluddin Rumi, dalam bukunya The Knowing Hearth : A Sufi Path of Transformation, sebagaimana yang dikutip oleh Erbe Sentanu, menyatakan bahwa sifat manusia sempurna adalah refleksi dari sifat-sifat Tuhan. Lihat Erbe Sentanu, Quantum Ikhlas : Teknologi Aktivasi Kekuatan Hati (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2007), 19. 41 Shihab, Membumikan al Qur’an, 158. 42 Islam mengajarkan kepada pemeluknya agar juga mempunyai akhlak yang baik terhadap makhluk Allah berupa binatang dan tumbuh-tumbuhan dan tidak berbuat sewenang-wenang terhadap mereka. Terdapat banyak sekali hadith Nabi SAW yang menunjukkan hal tersebut. 43 Penelitian Masaru Emoto menunjukkan bahwa air ternyata memberikan respon terhadap ucapan dan tingkah laku manusia yang ditujukan padanya. Hal ini membuktikan bahwa makhluk Allah lainnya yang kita anggap sebagai “benda mati” sebetulnya mempunyai kehidupan dalam kadarnya sendiri. Lihat Masaru Emoto, The True Power of Water: Hikmah Air dalam Olahjiwa ter. Azam Translator (Bandung: MQ Publishing, 2006). Baca juga Agus Mustofa, Dzikir Tauhid (Surabaya: Padma Press, 2006) 44 Pandangan malaikat ini didasarkan atas apa yang mereka saksikan berupa perilaku jin yang suka berbuat kerusakan di muka bumi. Lihat Jala>l al-Di>n al-Mah}alli> dan Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>, Tafsi>r Jala>layn, Maktabah Sha>milah Ver. 2, 36.
             Para malaikat berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Akan tetapi tesis malaikat ini kemudian secara tegas dijawab oleh Allah       Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Firman Allah swt ini menegaskan bahwa tesis malaikat adalah tidaklah benar. Artinya manusia, jika benar-benar bisa menggunakan potensi yang dikaruniakan oleh Allah, akan mampu untuk menjalankan tugas dan fungsi sebagai khalifah. Namun apa sesungguhnya potensi yang dimiliki oleh manusia sehingga ia layak untuk menyandang gelar khalifah? Secara tersirat kita dapat menangkap dari firman Allah dalam surat al Baqarah ayat 31 -33
             
                 
              
      
31 Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"
32. Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Telah Engkau ajarkan kepada Kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana[35]."
33. Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?"
Ayat-ayat di atas secara tersirat menjelaskan potensi dan kemampuan yang diberikan oleh Allah swt kepada Nabi Adam as sebagai bekal untuk menjalankan perannya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Potensi tersebut adalah berupa ilmu yang mungkin bisa kita konotasikan pada masa sekarang dengan kecerdasan. Persoalannya sekarang adalah apa bentuk kecerdasan yang telah dikaruniakan oleh Allah swt kepada manusia agar bisa menjalankan kewajibanya sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Berbicara tentang kecerdasan manusia tentu tidak terlepas dari pembicaraan tentang otak manusia. Otak manusia adalah massa protoplasma yang paling kompleks yang yang pernah dikenal di alam semesta. Inilah satu-satunya organ yang sangat berkembang sehingga mampu mempelajari dirinya sendiri. Jika dirawat dalam tubuh yang sehat dan lingkungan yang baik yang dapat merangsangnya, maka otak manusia akan tetap aktif dan bisa bertahan lama.
Paul Maclean, Direktur Labratorium Evlusi dan Tingkah Laku Otak, National Institute of Mental Health di Amerika, menjelaskan bahwa manusia dikarunia otak komplet yang mencakup tiga jenis evolusi yaitu otak reptil, otak mamalia tua (sistim limbik) dan otak mamalia baru (neokorteks). Inilah integrasi hardware tercanggih yang bisa berpikir sangat rumit sekaligus memiliki potensi “kekacauan” yang tinggi akibat berkumpulnya tiga jenis otak di kepala.
Otak reptil merupakan komponen kecerdasan yang terendah. Bagian otak ini membuat kita bisa memiliki rutinitas dan membentuk kebiasaan, tetapi juga bisa menyulitkan karena kebiasaan buruk kita pun tertanam di sini. Di sekeliling otak reptil terdapat sistim limbik yang sangat kompleks dan luas yaitu otak mamalia tua. Sistim limbik berada di bagian tengah otak manusia. Fungsinya bersifat emosional dan kognitif, yaitu menyimpan perasaan, pengalaman yang menyenangkan, memori dan kemampuan belajar. Sistem ini juga mengatur bioritme manusia seperti pola tidur, lapar, haus, tekanan darah, detak jantung,
gairah seksual, temperatur dan kimia tubuh, metabolisme dan sistem kekebalan. Karena itu sistem limbik merupakan bagian yang sangat penting dalam mempertahankan kehidupan manusia. Bagian ketiga yaitu neokorteks merupakan bagian paling atas yang membungkus sistim limbik dan membentuk sekitar 80% dari seluruh materi otak. Bagian ini merupakan tempat bersemayam kecerdasan manusia, tempat berlangsungnya analisa, logika, kretivitas dan intuisi yang seharusnya digunakan untuk mengarahkan kecenderungan kedua otak lainnya. 45
Tipe bagian otak manusia juga dapat dibagi menjadi belahan kiri dan belahan kanan. Para pakar percaya bahwa masing masing belahan otak kita mengatur "mode" pikiran yang berbeda walaupun ada persilangan dan interaksi antara kedua sisi. Hipotesa ini disebarluarkan oleh Roger Sperry, yang memenangkan Hadiah Nobel untuk penelitiannya pada tahun 1981. "Mode-mode" itu secara kasar terbagi seperti berikut:46
OTAK KIRI
OTAK KANAN
Logis
Intuitif
Berurutan
Acak
Rasional
Holistik
Analisa
Sintesa
Obyektif
Subyektif
Sebagian
Menyeluruh
Otak kiri berhubungan dengan pikiran logik, analisa, dan ketepatan, sementara otak kanan berfokus pada keindahan, perasaan dan kreatifitas. Sepertinya bagian sebelah kanan adalah teman kreatifitas kita. Ide-ide baru datang dari keadaan yang tak normal, tanpa mengacuhkan batas dan fakta, berkelana ketempat dimana orang belum pernah pergi sebelumnya, untuk mencari galaksi baru dan peradaban. Otak kiri, di lain pihak, menganalisa, mengatur, dan
45 Bobby DePorter dan Mike Hernacki. Quantum Learning Membiasakan belajar Nyaman dan Menyenangkan (Bandung: Kaifa, 2002), 26. Lihat juga Sentanu, Quantum Ikhlas, 66-67. 46 Ibid, 39
berurusan dengan detail, secara umum mensabotase kreatifitas pemikiran kita. Kedua belahan otak itu sama-sama penting bagi manusia. Orang yang bisa memanfaatkan kedua belahan otak itu dengan baik akan cnederung seimbang dalam setiap aspek kehidupannya.47
Pada masa lalu, terutama mulai awal abad XX, kecerdasan manusia hanya diukur dengan apa yang disebut dengan kecerdasan intelektual atau rasional. Kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang digunakan untuk memecahkan masalah logika atau strategis. Para psikolog menyusun berbagai tes untuk mengukurnya dan tes-tes ini menjadi alat untk memilah manusia kedalam berbagai tingkatan kecerdasan yang kemudian lebih dikenal dengan istilah IQ (Intellegence Quotient/kecerdasan intelejensi).48 Menurut teori ini, orang yang memiliki intelegensi tinggi akan lebih cepat dan lebih tepat di dalam menghadapi masalah-masalah baru dibandingkan dengan orang yang kecerdasannya kurang. IQ digolongkan menjadi 4 (empat) kategori yaitu: kecerdasan rata-rata dengan angka IQ 90 - 109; diatas rata-rata dengan angka IQ 110-119; cerdas dengan angka IQ 120-129 dan IQ diatas 130 untuk kategori jenius (cerdas sekali).
Dominasi pengaruh kecerdasan Intelektual kemudian mulai dipertanyakan, sebab dalam kenyataan banyak orang yang dikategorikan berhasil ternyata tidak semuanya mempunyai IQ yang tinggi. Pada pertengahan 1990-an, Daniel Goleman mempopulerkan kecerdasan lain yang sama pentingnya dengan kecerdasan intelektual yang disebut dengan kecerdasan emosional (EQ). Kecerdasan emosional (EQ) memberikan kesadaran tentang perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain. Kecerdasan emosional (EQ) mengajarkan tentang rasa empati, cinta, motivasi dan kemampuan untuk menanggapi kesedihan dan kegembiraan dengan tepat. Kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri.49
47 Lihat juga Daniel H. Pink, Misteri Otak Kanan Manusia ter. Rusli (Yogyakarta: Penerbit Think, 2008) 48 Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan ter. Rahmani Astuti dkk. (Bandung: Mizan, 2002), 1 49 Ibid.
Kecerdasan emosional juga mencakup ketrampilan lainnya yang berkaitan dengan kognisi seperti, keterampilan melakukan monolog (berbicara kepada diri sendiri) atau melakukan dialog batin untuk menghadapi suatu masalah; dapat membaca atau menafsirkan isyarat-isyarat sosial, misalnya mengenali pengaruh sosial terhadap perilaku kita dan melihat dampak perilaku kita tidak hanya dengan kacamata pribadi akan tetapi dengan pandangan (perspektif) yang lebih luas yaitu masyarakat dimana kita tinggal; menggunakan langkah-langkah yang tepat dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan memperhitungkan resiko-resiko yang mungkin akan terjadi; mampu memahami sudut pandang orang lain; memahami sopan santun, perilaku mana yang dapat diterima dan mana yang tidak dapat diterima oleh orang lain atau masyarakat bersikap positif dan optimistis; serta mampu mengembangkan harapan-harapan yang realistis tentang diri sendiri dan masa depan kita
Seiring dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan kemudian ditemukan kecerdasan yang lain yaitu kecerdasan spiritual (SQ). Gambaran utuh kecerdasan manusia dilengkapi dengan adanya kecerdasan spiritual yaitu suatu kecerdasan untuk menempatkan prilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna daripada yang lain. Kecerdasan spiritual yang merupakan temuan terkini secara ilmiah pertama kali digagas oleh Danah Zohar dari Harvard University dan Ian Marshall dari Oxford University melalui riset yang sangat komprehensif. Pembuktian ilmiah tentang kecerdasan spiritual berawal dari temuan bahwa pada diri manusia terdapat God-spot sebagai pusat spiritual yang terletak di antara jaringan syaraf dan otak. Penelitian membuktikan bahwa ada proses syaraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada upaya untuk mempersatukan dan memberi makna dalam pengalaman hidup kita. Pada God-Spot inilah sebenarnya terdapat fitrah manusia yang terdalam. 50
Rasulullah SAW pernah menjelaskan siapa sebenarnya orang yang cerdas sebagaimana sabdanya:
50 Ary Ginanjar Agustian. Rahasia sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ Emotional Spiritual Quotient Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam (Jakarta: Arga Wijaya Persada), xxxxix
لْ ل كَ ييِّ سُ كَ م لْ ن كَ كَ ن نكَ لْ كَ سُ كَ و كَ مِ كَ لمِ كَ ا كَ لْ ع كَ د لْ ل كَ لْ مِ كَ و لْ ل كَ عا مِ ا سُ كَ م لْ ن كَ لْ بكَ كَ نكَ لْ كَ سُ كَ كَ كَا كَ و كَ كَ نَّ كَ كَ نَّ مِ 51 Orang yang cerdas adalah mereka yang mampu mengendalikan hawa nafsunya dan beramal untuk masa sesudah mati sedangkan orang yang lemah adalah mereka yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah Menurut hadith ini kecerdasan seseorang dilihat dari kemampuannya dalam mengendalikan hawa nafsunya (cerdas emosi) dan mengorientasikan semua amalnya pada kehidupan sesudah mati (cerdas spiritual).
Manusia yang bisa menjalankan fungsi kekhalifahannya, menurut penulis adalah mereka yang bisa mengoptimalkan segenap kecerdasan yang ada pada dirinya, mengoptimalkan kecerdasan yang ada pada otak mamalia baru dalam rangka mengatasi kecenderungan negatif dari kedua otak lainnya, bisa menyeimbangkan antara otak kanan dan otak kiri serta memadukan antara kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Ketimpangan pada salah satu jenis kecerdasan, terutama kecerdasan spiritual akan menyebabkan ketimpangan pula dalam kehidupannya. Tesis Malaikat yang menyatakan bahwa manusia tidak akan bisa menjalankan tugas kekhalifahannya, bahkan hanya bisa menumpahkan darah dan berbuat kerusakan di muka bumi, akan terjadi manakala tidak ada keseimbangan antara seluruh jenis kecerdasan yang telah dikaruniakan oleh Allah kepada manusia. 52 Peran kekhalifahan manusia sebetulnya merupakan amanah yang diberikan oleh Allah swt kepadanya sebagaimana firman Allah :             
     
51 Ah}mad, Musnad Ah}mad, Hadi>th No. 16501, Maktabah Sha>milah Ver. 2, 44. Hadith ini dida‟ifkan oleh sebagian ahli hadith karena adanya perawi Abu> Bakr b. Abi> Maryam yang dikategorikan lalai. Namun hadith ini dihasankan oleh al Turmudhi bahkan disahihkan oleh al-H}a>kim. Penulis mengutip hadith ini karena maknanya sesuai dengan pembahasan ini. 52 Gambaran tentang kecerdasan manusia juga diperkaya oleh temuan Howard Gardner tentang berbagai jenis kecerdasan manusia seperti kecerdasan linguistik, kecerdasan logis matematis, kecerdasan visual-spasial, kecerdasan musikal, Kecerdasan kinestetis, kecerdasan interpersonal dan Kecerdasan intrapersonal. Lihat Howard Gardner, Kecerdasan Majemuk (Multiple Intellgence) ter. Alexander Sindoro (Batam: Interaksara, 2003), 23-24
Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh53
Menurut Quraish Shihab, manusia yang tidak bisa menjalankan amanah ini padahal dia sudah dilengkapi dengan berbagai potensi dan keistimewaan sebagai bekal untuk menjadi khalifah adalah orang yang zalim dan bodoh sebagaimana yang digambarkan oleh Allah swt dalam ayat di atas.54
D. Manusia Sebagai „Abd Allah dan Khalifah Allah
Keberadaan manusia sebagai „abd Alla>h pada dasarnya tidak bisa dipisahkan dari kedudukannya sebagai khalifah Alla>h. Esensi manusia sebagai „abd Alla>h tidak menafikan kendudukannya sebagai khalifah Allah. Demikian juga peran manusia sebagai khalifah Allah juga tidak boleh kaitannya dengan posisinya sebagai „abd Alla>h, karena kedua-duanya merupakan sesuatu yang inheren pada diri manusia, yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Keduanya bisa diibaratkan sebagai dwi fungsi manusia keberadaan manusia di muka bumi ini.
Kedudukan manusia sebagai „abd Allah pada dasarnya lebih merupakan realisasi dari h}abl min Alla>h, ibadah individual, menjalin hubungan vertikal dengan Allah sedangkan perannya sebagai Khalifah Allah lebih merupakan pengejawantahan dari h}abl min al-na>s, ibadah sosial, menjalin hubungan horizontal dengan sesama manusia 55 dan juga h}abl min al-‘a>lam menjalin hubungan yang baik dengan segenap makhluk Allah yang lainnya termasuk
53 QS. Al-Ahzab (33) : 72 54 Menurut T}a>hir b. „Ashu>r, yang dimaksud dengan z}a>lim adalah yang sengaja menyia-nyiakan amanah sedangkan istilah jahu>l adalah mereka yang lengah dan lalai terhadap amanah tersebut. Lihat Shihab, Tafsir al-Misbah Vol. 11, 332-333. 55 Lihat QS 3:112. Pembagian ini lebih didasarkan pada aspek kedekatan dan bukan berarti menafikan aspek h}abl min al-na>s dan h}abl min al-‘a>lam dalam konsep „Abd Alla>h atau menafikan aspek h}abl min Alla>h dalam konsep Khal>ifah Alla>h. Ketiga aspek ini tetap inhreren baik pada Abd Allah maupun konsep Khalifah Allah.
hewan, tumbuh-tumbuhan dan memakmurkan alam semesta ini.56 Namun secara esensial keduanya adalah tugas dan fungsi kehidupan manusia yang saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Kedudukan manusia sebagai „abd Allah merupakan fungsi penguatan potensi diri dengan terus menggantungkan diri kepada pemberi potensi tersebut yaitu Allah swt, Sang Khalik sedangkan kedudukan manusia sebagai khalifah Allah merupakan fungsi aplikatif yaitu upaya menggunakan potensi diri dalam kerangka rah}mah li al-‘a>lami>n, untuk memberdayakan potensi sesama manusia dan juga segenap potensi alam ke arah yang diridhai oleh Allah. Pertanggungjawaban manusia di hadapan Allah juga akan menyangkut pelaksanaan kedua fungsi ini.
E. Penutup
Pada dasarnya manusia diciptakan oleh Allah untuk mengabdi kepadaNya. Pengabdian ini diwujudkan dalam bentuk ibadah ritual individual, menjalin hubungan dengan Allah, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan juga dalam bentuk ibadah aktual-sosial dengan menata hubungan yang baik dengan sesama manusia dan makhlukNya yang lain serta memakmurkan bumi ini dalam rangka mewujudkan misi rah}mah li ‘a>lami>n sebagai bagian dari tanggung jawab sebagai khalifah Allah di muka bumi. DAFTAR KEPUSTAKAAN al-„Aqqa>d, „Abba>s Mah}mu>d. Al-Insa>n fi> al-Qur’a>n. Beirut: Manshu>rat al-Maktabah al-„As}ri>yah, tt.
56 Lihat QS. Al Qasas (28) :77
Agustian, Ary Ginanjar. Rahasia sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ Emotional Spiritual Quotient Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta: Arga Wijaya Persada.
Ah}mad, Musnad Ah}mad, Hadi>th No. 16501, Maktabah Sha>milah Ver. 2
al-Asfaha>ni>, Al-Ra>ghib. Mufrada>t Alfa>z} al-Qur’a>n. Beirut : Da>r al-Sha>mi>yah, 1992.
Bucaile, Maurice. Asal-usul Manusia Menurut Bible, al Qur’an dan Sains ter. Rahmani. (Bandung:Mizan, 1998.
DePorter Bobby, dan Hernacki, Mike. Quantum Learning Membiasakan belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa, 2002.
Emoto. Masaru, The True Power of Water: Hikmah Air dalam Olahjiwa ter. Azam Translator. Bandung: MQ Publishing, 2006
Fa>ris, Abu> al-H}usayn Ah}mad ibn. Mu’jam Maqa>yis al-Lughah, Juz IV. Beirut : Da>r al-Fikr, t. T.
Al-Fa>yu>mi>, Ah}mad ibn Muh}ammad ibn „Ali> al-Muqri>. al-Mis}bah al-Muni>r fi> Ghari>b al-Syarh} al-Kabi>r li al-Ra>fi’i>. Beirut : Da>r al-Ji>l, 1987.
Gardner, Howard. Kecerdasan Majemuk (Multiple Intellgence) ter. Alexander Sindoro. Batam: Interaksara, 2003.
Kathi>r, Abu> al-Fida>‟ Isma>‟i>l ibn. Tafsi>r Ibn Kathi>r, Juz I. Beirut : Da>r al-Fikr, 1986.
Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta : Paramadina, 2000.
al-Mahalli>, Jala>l al-Di>n dan al-Suyu>t}i>, Jala>l al-Din. Tafsi>r Jala>layn, Maktabah Sha>milah Ver. 2.
Manz}u>r, Abu> al-Fad}l Jama>l al-Di>n Muh}ammad ibn Mukarram ibn. Lisa>n al-‘Arab, Juz. IV. Mesir : Nu>r al-Thaqa>fah al-Isla>mi>yah, tt.
al-Mara>ghi>, Ah}mad Must}afa>, Tafsi>r al-Mara>ghi> Juz VIII. Beirut : Da>r al-Fikr, tt.
Mustofa, Agus. Untuk Apa Berpuasa. Surabaya: Padma Press, 2005.
__________. Dzikir Tauhid. Surabaya: Padma Press, 2006.
Pink, Daniel H. Misteri Otak Kanan Manusia ter. Rusli. Yogyakarta: Penerbit Think, 2008.
al-Qa>simi>, Muh}ammad Jama>l al-Di>n. Maha>sin al-Ta’wi>l, Juz XV. Mesir : Da>r Ihya>‟ al-Kutub al-„Arabi>yah, t.t.
Rid}a>, Muh}ammad Rashi>d. Tafsi>r al-Mana>r Juz I. Mesir : Maktabah al-Qa>hirah, 1960.
Salim, Abdul Muin. Fiqih Siyasah : Konsep Kekuasaan Politik dalam Al Qur’an. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.
Sentanu, Erbe. Quantum Ikhlas : Teknologi Aktivasi Kekuatan Hati. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2007.
Shalt}u>t}, Mah}mu>d. Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m. Beirut : Da>r al-Qalam, 1965.
al-Shawka>ni>, Fath} al-Qadi>r, Maktabah Sha>milah Ver. 2.
Shihab, M. Quraish Membumikan al Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat Bandung : Mizan, 1994.
__________. Lentera Hati. Bandung : Mizan, 1997.
__________. Tafsir al Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera hati, 2002
Soleh, Moh. Tahajud; Manfaat Praktis Ditinjau dari Ilmu Kedokteran. Yogyakarta: Himanda & Pustaka Pelajar, 2001.
al-Shinqiti>, Ad}wa>’ al-Baya>n fi> I>d}a>h al-Qur’a>n bi al-Qur’a>n Juz. VII. Beirut: Da>r al-Fikr, 1995.
Syathi‟, Aisyah Abdurrahman Bintusy. Manusia Sensitivitas Hermeneutika al-Qur’an ter. M. Adi al Arief. Jakarta: LKPSM, 1997.
al-T}abari>, Abu> Ja‟far ibn Muh}ammad ibn Jari>r. Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’w>il A>yi al-Qur’a>n, Juz V. Beirut : Da>r al-Fikr, tt.
“Terapi Do‟a dan Tahajjud” Suara Hidayatullah Edisi 12/XX/April 2008.
al-Wa>hidi>, Abu> al-H}asan „Ali> ibn Ah}mad. Asba>b al-Nuzu>l. Beirut : Dar> al-Fikr, 1994
al-Zarkashi>, Badr al-Di>n. al-Burha>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n Vol. IV. Mesir: Da>r Ihya>‟ al-Kutub al-„Arabi>yah, tt.
Zohar, Danah dan Marshall, Ian. SQ Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan ter. Rahmani Astuti dkk. Bandung: Mizan, 2002.

1 komentar:

  1. salam sejahtera,,semoga sentiasa di dalam rahmat dan barakah allah..!!

    BalasHapus